Senin, 06 Januari 2014

Malpraktek dan Pertanggungjawaban Hukumnya



Pendahuluan

Dunia kedokteran yang dahulu seakan tak terjangkau oleh hukum, dengan berkembangnya kesadaran masyarakat akan kebutuhannya tentang perlindungan hukum menjadikan dunia pengobatan bukan saja sebagai hubungan keperdataan, bahkan sering berkembang menjadi persoalan pidana. Banyak persoalan-persoalan malpraktek yang kita jumpai, atas kesadaran hukum pasien maka diangkat menjadi masalah pidana. Berdasarkan hal tersebut diperlukan suatu pemikiran dan langkah-langkah yang bijaksana sehingga masing-masing pihak baik dokter maupun pasien memperoleh perlindungan hukum yang seadil adilnya. Membiarkan persoalan ini berlarut-larut akan berdampak negativ terhadap pelayanan medis yang pada akhirnya akan dapat merugikan masyarakat secara keseluruhan. Memang disadari oleh semua pihak, bahwa dokter hanyalah manusia yang suatu saat bisa salah dan lalai sehingga pelanggaran kode etik bisa terjadi, bahkan mungkin sampai pelanggaran norma-norma hukum. Soerjono Soekanto dan Kartono Muhammad berpendapat bahwa belum ada parameter yang tegas tentang batas pelanggaran kode etik dan pelanggaran hukum.
Belum adanya parameter yang tegas antara pelanggaran kode etik dan pelanggaran didalam perbuatan dokter terhadap pasien tersebut, menunjukan adanya kebutuhan akan hukum yang betul-betul diterapkan dalam pemecahan masalah-masalah medik, yang hanya bisa diperoleh dengan berusaha memahami fenomena yang ada didalam profesi kedokteran.

Sekalipun pasien atau keluarganya mengetahui bahwa kualitas pelayanan yang diterimanya kurang memadai, seringkali pasien atau keluarganya lebih memilih diam karena kalau mereka menyatakan ketidak puasannya kepada dokter, mereka khawatir kalau dokter akan menolak menolong dirinya yang pada akhirnya bisa menghambat kesembuhan sang pasien. Walapun demikian tidak semua pasien memilih diam apabila pelayanan dokter tidak memuaskan dirinya ataupun keluarganya terutama bila salah satu anggota keluarganya ada yang mengalami cacat atau kematian setelah prosedur pengobatan dilakukan oleh dokter. Berubahnya fenomena tersebut terjadi karena perubahan sudut pandang terhadap dokter dengan pasiennya.
Kedudukan pasien yang semula hanya sebagai pihak yang bergantung pada dokter dalam menentukan cara penyembuhan (terapi) kini berubah menjadi sederajat dengan dokter. Dengan demikian dokter tidak boleh lagi mengabaikan pertimbangan dan pendapat pihak pasien dalam memilih cara pengobatan termasuk pendapat pasien untuk menentukan pengobatan dengan operasi atau tidak. Akibatnya apabila pasien merasa dirugikan dalam pelayanan dokter maka pasien akan mengajukan gugatan terhadap dokter untuk memberikan ganti rugi terhadap pengobatan yang dianggap merugikan dirinya. Dokterpun bereaksi, tindakan-tindakan penuntutan dipengadilan itu mereka anggap sebagai ancaman. Penerapan hukum dibidang kedikteran dianggap sebagai intervensi hukum. Mereka mengemukakan bahwa KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) sudah cukup untuk mengatur dan mengawasi dokter dalam bekerja, sehingga tidak perlu lagi adanya intervensi hukum tersebut. Lebih jauh dari itu kekhawatiran paling utama adalah profesi kedokteran akan kehilangan martabatnya manakala diatur oleh hukum. Dokter merasa resah dan merasa diperlakukan tidak adil sehingga mereka menuntut perlindungan hukum agar dapat menjalankan profesinya dalam suasana tentram. Sampai sekarang yang mereka persoalkan adalah perlindungan hukum dan bukan mengenai masalah tanggung jawab hukum serta kesadaran hukum dokter dalam menjalankan profesinya. Hal ini menunjukan kurangnya pengertian mengenai Etika dan Hukum dalam kalangan dokter. Demikian juga kerancuan pemahaman atas masalah medical malpractice, masih sering dianggap pelanggaran norma etis profesi saja yang tidak seharusnya diberikan sanksi ancaman pidana.
Kenyataan menunjukan bahwa kemajuan teknologi memang mampu meningkatkan mutu dan jangkauan diagnosis (penentuan jenis penyakit) dan terapi (penyembuhan) sampai batasan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Namun demikian tidak selalu mampu menyelesaikan problema medis seseorang penderita, bahkan kadang-kadang muncul problem baru dimana untuk melakukan diagnosa dokter sangat bergantung pada alat bantu diagnosis. Patut disadari bahwa ilmu dokter bukanlah ilmu pasti, menentukan diagnosis merupakan seni tersendri karena memerlukan imajinasi setelah mendengar keluhan-keluhan pasien dan melakukan pengamatan yang seksama terhadapnya. Hipocrates mengatakan bahwa ilmu kedokteran merupakan perpaduan antara pengetahuan dan seni (science and art) yang harus diramu sedemikian sehingga menghasilkan suatu diagnosa yang mendekati kebenaran.
Memang kita harus berkata jujur bahwa profesi kedokteran merupakan suatu profesi yang penuh dengan resiko dan kadang-kadang dalam mengobati penderita atau pasien dapat terjadi kematian sebagai akibat dari tindakan dokter. Resiko ini kadangkala diartikan oleh pihak luar profesi kedokteran sebagai malpraktek medik.
Latar belakang timbulnya Malpraktek
Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit, termasuk didalamnya pelayanan medis yang dilaksanakan atas dasar hubungan individual antara dokter dengan pasien yang membutuhkan penyembuhan. Dalam hubungan antara dokter dan pasien tersebut terjadi transaksi terapeutik artinya masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Dokter berkewajiban memberikan pelayanan medis yang sebaik-baiknya bagi pasien. Pelayanan media ini dapat berupa penegakan diagnosis dengan benar sesuai prosedur, pemberian terapi, melakukan tindakan medik sesuai standar pelayanan medik, serta memberikan tindakan wajar yang memang diperlukan untuk kesembuhan pasiennya. Adanya upaya maksimal yang dilakukan dokter ini adalah bertujuan agar pasien tersebut dapat memperoleh hak yang diharapkannya dari transaksi yaitu kesembuhan ataupun pemulihan kesehatannya.             Namun adakalanya hasil yang dicapai tidak sesuai dengan harapan masing-masing pihak. Dokter tidak berhasil menyembuhkan pasien, adakalanya pasien menderita cacat atau bahkan sampai terjadi kematian dan tindakan dokterlah yang diduga sebagai penyebab kematian tersebut. Dalam hal terjadi peristiwa yang demikian inilah dokter sering kali dituduh melakukan kelalaian yang pada umumnya dianggap sebagai malpraktek.

Jenis Malpraktek
  1. Malpraktek Etik
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah dokter melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran. Sedangkan etika kedokteran yang dituangkan da dalam KODEKI merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk dokter.
Ngesti Lestari berpendapat bahwa malpraktek etik ini merupakan dampak negative dari kemajuan teknologi kedokteran. Kemajuan teknologi kedokteran yang sebenarnya bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pasien, dan membantu dokter untuk mempermudah menentukan diagnosa dengan lebih cepat, lebbih tepat dan lebih akurat sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih cepat, ternyata memberikan efek samping yang tidak diinginkan.
Efek samping ataupun dampak negative dari kemajuan teknologi kedokteran tersebut antara lain :
  • Kontak atau komunikasi antara dokter dengan pasien semakin berkurang
  • Etika kedokteran terkontaminasi dengan kepentingan bisnis.
  • Harga pelayanan medis semakin tinggi, dsb.
Contoh konkrit penyalahgunaan kemajuan teknologi kedokteran yang merupakan malpraktek etik ini antara lain :
  • Dibidang diagnostic
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak diperlukan bilamana dokter mau memeriksa secara lebih teliti. Namun karena laboratorium memberikan janji untuk memberikan “hadiah” kepada dokter yang mengirimkan pasiennya, maka dokter kadang-kadang bisa tergoda juga mendapatkan hadiah tersebut.
  • Dibidang terapi
Berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter dengan janji kemudahan yang akan diperoleh dokter bila mau menggunakan obat tersebut, kadang-kadang juga bisa mempengaruhi pertimbangan dokter dalam memberikan terapi kepada pasien. Orientasi terapi berdasarkan janji-janji pabrik obat yang sesungguhnya tidak sesuai dengan indikasi yang diperlukan pasien juga merupakan malpraktek etik.
  1. Malpraktek Yuridik
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridik ini menjadi :
  1. Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)
Terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechmatige daad) sehingga menimbulkan kerugian pada pasien.
Adapun isi dari tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa :
  • Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.
  • Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melaksanakannya.
  • Melakukan apa yang menurut  kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.
  • Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi beberapa syarat seperti :
  • Harus ada perbuatan (baik berbuat naupun tidak berbuat)
  • Perbuatan tersebut melanggar hukum (baik tertulis maupuntidak tertulis)
  • Ada kerugian
  • Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan yang melanggar hukum dengan kerugian yang diderita.
  • Adanya kesalahan (schuld)
Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian dokter, maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsure berikut :
  • Adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien.
  • Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim.
  • Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
  • Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar.
Namun adakalanya seorang pasien tidak perlu membuktikan adanya kelalaian dokter. Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi “res ipsa loquitor” yang artinya fakta telah berbicara. Misalnya karena kelalaian dokter terdapat kain kasa yang tertinggal dalam perut sang pasien tersebut akibat tertinggalnya kain kasa tersebut timbul komplikasi paksa bedah sehingga pasien harus dilakukan operasi kembali. Dalam hal demikian, dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalaian pada dirinya.
  1. Malpraktek Pidana (Criminal Malpractice)
Terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang hati-hati atua kurang cermat dalam melakukan upaya penyembuhan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut.
  1. Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional)
Misalnya pada kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia, membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan dokter yang tidak benar.
  1. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness)
Misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta melakukan tindakn tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
  1. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence)
Misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan dokter yang kurang hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi yang didalam rongga tubuh pasien.
  1. Malpraktek Administratif (Administrative Malpractice)
Terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain melakukan pelanggaran terhadap hukum Administrasi Negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek dokter tanpa lisensi atau izinnya, manjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.

Pertanggung jawaban dalam Hukum Pidana

Untuk memidana seseorang disamping orang tersebut melakukan perbuatan yang dilarang dikenal pula azas Geen Straf Zonder Schuld (tiada pidana tanpa kesalahan). Azas ini merupakan hukum yang tidak tertulis tetapi berlaku dimasyarakat dan juga berlaku dalam KUHP, misalnya pasal 48 tidak memberlakukan ancaman pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan pidana karena adanya daya paksa. Oleh karena itu untuk dapat dipidananya suatu kesalahan yang dapat diartikan sebagai pertanggungjawaban dalam hukum pidana haruslah memenuhi 3 unsur, sebagai berikut :
  1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada petindak artinya keadaan jiwa petindak harus normal.
  2. Adanya hubungan batin antara petindak dengan perbuatannya yang dapat berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).
  3. Tidak adanya alas an penghapus kesalahan atau pemaaf.
Perbedaaan kesengajaan dan kealpaan.
Mengenai kesengajaan, KUHP tidak menjelaskan apa arti kesengajaan tersebut. Dalam Memorie van Toelichting (MvT), kesengajaan diartikan yaitu melakukan perbuatan yang dilarang dengan dikehendaki dan diketahui.
Dalam tindakannya, seorang dokter terkadang harus dengan sengaja menyakiti atau menimbulkan luka pada tubuh pasien, misalnya : seorang ahli dokter kandungan yang melakukan pembedahan Sectio Caesaria untuk menyelamatkan ibu dan janin. Ilmu pengetahuan (doktrin) mengartikan tindakan dokter tersebut sebagai penganiayaan karena arti dan penganiayaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain. Didalam semua jenis pembedahan sebagaimana sectio caesare tersebut, dokter operator selalu menyakiti penderita dengan menimbulkan luka pada pasien yang jika tidak karena perintah Undang-Undang “si pembuat luka” dapat dikenakan sanksi pidana penganiayaan. Oleh karena itu, didalam setiap pembedahan, dokter operator haruslah berhati-hati agar luka yang diakibatkannya tersebut tidak menimbulkan masalah kelak di kemudian hari. Misalnya terjadi infeksi nosokomial (infeksi yang terjadi akibat dilakukannya pembedahan) sehingga luka operasi tidak bisa menutup. Bila ini terjadi dokter dianggap melakukan kelalaian atau kealpaan.
Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan, akan tetapi juga bukan sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Dalam kealpaan sikap batin seseorang menghendaki melakukan perbuatan akan tetapi sama sekali tidak menghendaki ada niatan jahat dari petindak. Walaupun demikian, kealpaan yang membahayakan keamanan dan keselamatan orang lain tetap harus dipidanakan.
Moeljatno menyatakan bahwa kesengajaan merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan dengan menentang larangan, sedangkan kealpaan adalah kekurang perhatian pelaku terhadap obyek dengan tidak disadari bahwa akibatnya merupakan keadaan yang dilarang, sehingga kesalahan yang berbentuk kealpaan pada hakekatnya sama dengan kesengajaan hanya berbeda gradasi saja.

Penanganan Malpraktek di Indonesia

Sistem hukum di Indonesia yang salah satu komponennya adalah hukum substantive, diantaranya hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi tidak mengenal bangunan hukum “malpraktek”.
Sebagai profesi, sudah saatnya para dokter mempunyai peraturan hukum yang dapat dijadikan pedoman bagi mereka dalam menjalankan profesinya dan sedapat mungkin untuk menghindari pelanggaran etika kedokteran.
Keterkaitan antara pelbagai kaidah yang mengatur perilaku dokter, merupakan bibidang hukum baru dalam ilmu hukum yang sampai saat ini belum diatur secara khusus. Padahal hukum pidana atau hukum perdata yang merupakan hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini tidak seluruhnya tepat bila diterapkan pada dokter yang melakukan pelanggaran. Bidang hukum baru inilah yang berkembang di Indonesia dengan sebutan Hukum Kedokteran, bahkan dalam arti yang lebih luas dikenal dengan istilah Hukum Kesehatan.
Istilah hukum kedokteran mula-mula diunakan sebagai terjemahan dari Health Law yang digunakan oleh World Health Organization. Kemudian Health Law diterjemahkan dengan hukum kesehatan, sedangkan istilah hukum kedokteran kemudian digunakan sebagai bagian dari hukum kesehatan yang semula disebut hukum medik sebagai terjemahan dari medic law.
Sejak World Congress ke VI pada bulan agustus 1982, hukum kesehatan berkembang pesat di Indonesia. Atas prakarsa sejumlah dokter dan sarjana hukum pada tanggal 1 Nopember 1982 dibentuk Kelompok Studi Hukum Kedokteran di Indonesia dengan tujuan mempelajari kemungkinan dikembangkannya Medical Law di Indonesia. Namun sampai saat ini, Medical Law masih belum muncul dalam bentuk modifikasi tersendiri. Setiap ada persoalan yang menyangkut medical law penanganannya masih mengacu kepada Hukum Kesehatan Indonesia yang berupa Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, KUHP dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kalau ditinjau dari budaya hukum Indonesia, malpraktek merupakan sesuatu yang asing karena batasan pengertian malpraktek yang diketahui dan dikenal oleh kalangan medis (kedokteran) dan hukum berasal dari alam pemikiran barat. Untuk itu masih perlu ada pengkajian secara khusus guna memperoleh suatu rumusan pengertian dan batasan istilah malpraktek medik yang khas Indonesia (bila memang diperlukan sejauh itu) yakni sebagai hasil oleh piker bangsa Indonesia dengan berlandaskan budaya bangsa yang kemudian dapat diterima sebagai budaya hukum (legal culture) yang sesuai dengan system kesehatan nasional.
Dari penjelasan ini maka kita bisa menyimpulkan bahwa permasalahan malpraktek di Indonesia dapat ditempuh melalui 2 jalur, yaitu jalur litigasi (peradilan) dan jalur non litigasi (diluar peradilan).
Untuk penanganan bukti-bukti hukum tentang kesalahan atau kealpaan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan profesinya dan cara penyelesaiannya banyak kendala yuridis yang dijumpai dalam pembuktian kesalahan atau kelalaian tersebut. Masalah ini berkait dengan masalah kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh orang pada umumnya sebagai anggota masyarakat, sebagai penanggung jawab hak dan kewajiban menurut ketentuan yang berlaku bagi profesi. Oleh karena menyangkut 2 (dua) disiplin ilmu yang berbeda maka metode pendekatan yang digunakan dalam mencari jalan keluar bagi masalah ini adalah dengan cara pendekatan terhadap masalah medik melalui hukum. Untuk itu berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Repiblik Indonesia (SEMA RI) tahun 1982, dianjurkan agar kasus-kasus yang menyangkut dokter atau tenaga kesehatan lainnya seyogyanya tidak langsung diproses melalui jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu kepada Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).
Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam struktur organisasi profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus yang terjadi merpuakan pelanggaran etika ataukah pelanggaran hukum. Hal ini juga diperkuat dengan UU No. 23/1992 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa penentuan ada atau tidaknya  kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (pasal 54 ayat 2) yang dibentuk secara resmi melalui Keputusan Presiden (pasal 54 ayat 3).
Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995 tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada atau tidaknya kesalahan atau kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini bersifat otonom, mandiri dan non structural yang keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili organisasi profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama, Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi. Bila dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan oleh MDTK dapat diharapkan lebih obyektif, karena anggota dari MKEK hanya terdiri dari para dokter yang terikat kepada sumpah jabatannya sehingga cenderung untuk bertindak sepihak dan membela teman sejawatnya yang seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa puas karena MKEK dianggap melindungi kepentingan dokter saja dan kurang memikirkan kepentingan pasien.

Putusan inkracht Wa Ode jadi yurisprudensi KPK


Sindonews.com - Putusan enam tahun pidana penjara terhadap Wa Ode Nurhayati yang kini telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht) diakui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat menjadi yurisprudensi dalam penanganan kasus Tindak Pidana Pencuciang Uang (TPPU).

Pasalnya, Wa Ode diputus bersalah dalam dua kasus yakni, kasus suap pengurusan anggaran Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) tahun anggaran 2011 dan Tindak Pidana Pencuciang Uang (TPPU).

Juru Bicara KPK Johan Budi SP menegaskan, dalam putusan inkracht itu ada kasus TPPU. Hal ini dapat menjadi yurisprudensi bagi kasus TPPU lainnya yang ditangani KPK. Dengan putusan itu jelasnya menguatkan bahwa KPK berwenang menangani TPPU.

Lebih lanjut, Johan menjelaskan, kalau dikaitkan dengan putusan sela terdakwa mantan Presiden PKS sekaligus mantan anggota Komisi I DPR Luthfi Hasan Ishaaq. Saat itu ungkapnya, putusan pengadilan juga menyatakan KPK memang berhak tangani TPPU.

"Meski ada dissenting opinion, ngga jadi masalah itu. Jadi putusan inkracht Wa Ode itu jadi yurispudensi. Jadi putusan ini menguatkan (bagi KPK)," kata Johan saat dihubungi SINDO di Jakarta, Selasa (16/7/13) malam.

Yurisprudensi adalah putusan hakim terdahulu yang sudah berkekuatan hukum tetap dan diikuti hakim dalam memutus suatu perkara atau kasus yang sama. Yurisprudensi dapat menjadi salah satu sumber hukum, selain undang-undang, traktat, kebiasaan, dan doktrin.

Johan melanjutkan, kemarin ada eksekusi yang dilakukan jaksa KPK atas nama WON (Wa Ode Nurhayati) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Pondok Bambu, Jakarta Timur. Eksekusi itu sebagai tindak lanjut dari putusan inkracht atas kasasi yang ditetapkan Mahkamah Agung (MA).

"Putusan inkracht enam tahun itu menguatkan vonis tingkat pertama. Makanya hari ini di eksekusi," ujarnya.

Dia mengaku belum menerima informasi dari jaksa kapan putusan tersebut diterima KPK dari MA. Yang jelas, kemarin jaksa menyampaikan kepada Johan bahwa kemarin mengeksekusi Wa Ode terhadap putusan inkracht enam tahun tersebut. Dia menjelaskan, saat eksekusi itu KPK juga memberitahukan kepada terpidana.

"Iya, ya kita ngasih tahu Wa Ode. Kan ada ritual menyerahkan berkas, bahwa ini putusannya, entar anda diekesusi di sini (lapas)," tandasnya.

Dari data yang diterima SINDO putusan inkracht Wa Ode diputus majelis hakim kasasi yang dipimpin Ketua Majelis Dr Artidjo Alkostar, Hakim Anggota Leopold Luhut Hutagalung dan Hakim Anggota (ad hoc) dengan kode MLU.

Kasasi Nomor Perkara 884 K/PID.SUS/2013 ini diketok palu majelis 28 Mei 2013. Putusan ini memperkuat putusan sebelumnya yang dijatuhi Pengadilan Tipikor Jakarta, dengan vonis enam tahun penjara disertai denda Rp500 juta.

Wa Ode terbukti secara sah dan meyakinkan menerima suap Rp6,25 miliar dari tiga pengusaha yakni Fahd El-Fouz, Paulus Nelwan, dan Abram Noach Mambu melalui Haris Andi Surrahman untuk memuluskan pengalokasian anggaran DPID tiga kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara.

Wa Ode terbukti melakukan tindak pidana sesuai tertuang dalam dakwaan ke satu primer yakni, Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomo 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHP dalam kasus DPID.

Serta terbukti melakukan TPPU sesuai dakwaan kedua primer pada pasal 3 UU Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.

sumber: Sindo News
http://nasional.sindonews.com/read/2013/07/16/13/761836/putusan-inkracht-wa-ode-jadi-yurisprudensi-kpk

Minggu, 22 Desember 2013

JURISPRUDENSI MARI

MAHKAMAH AGUNG RI, KAIDAH HUKUM :

Putusan Praperadilan mengenai sah atau
tidak sahnya penahanan yang dilakukan Tim
Penyidik Koneksitas dalam perkara Korupsi
yang diduga dilakukan oleh tersangka yang
harus diadili oleh Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Militer bersama-sama
dengan tersangka yang harus diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum dapat dikasasi;

NOMOR REGISTER DAN TANGGAL PUTUSAN :
a. Putusan PN. Jakarta Selatan
No. 11/Pid.Prap/2001/PN.Jak.Sel.
tanggal : 2 Mei 2001
b. Putusan Kasasi
No. 35 K/Pid/2002
tanggal : 6 Maret 2002
TANGGAL PUTUSAN : 2 Mei 2001 dan 6 Maret 2002
MAJELIS : 1. H. Toton Suprapto, SH.
2. Iskandar Kamil, SH.
3. H. Parman Soeparman, SH.
4. H. Sunardi Padang, SH.
5. Prof.DR. H. Muchsin, SH.

KLASIFIKASI : PRAPERADILAN;

DUDUK PERKARA :

Bahwa pemohon Praperadilan atas nama tersangka Prof. DR. Ir.
Ginanjar Kartasasmita yang disidangkan melakukan tindak pidana
korupsi dalam pembuatan Technical Contract antara Pertamina dengan
PT. Ustraindo Petro Gas yang dibuat pada tahun 1992-1993, tersangka
selaku Menteri Pertambangan dan Energi dan masih berstatus Prajurit
aktif, telah ditahan di RUTAN Kejaksaan Agung RI terhitung mulai
tanggal 6 April 2001 dengan surat penetapan tahanan tanggal 17 April
2001 No. Prin/052/F/FJP/04/2001 yang dilaksanakan dengan Berita
Acara Pelaksanaan Perintah Penahanan tanggal 18 April 2001 tersangka
ditahan selama 20 (dua puluh) hari terhitung mulai tanggal 9 April 2001
s/d tanggal 28 April 2001, meskipun putusan Praperadilan PN. Jakarta
Yurisprudensi 380 Mahkamah Agung RI
Selatan tanggal 2 Mei 2001 No. 11/Pid.Prap/2001/PN.Jak.Sel. dengan
amarnya yang menyatakan bahwa penahanan yang dilakukan oleh
termohon praperadilan adalah tidak sah, namun termohon praperadilan
tidak membebaskan/mengeluarkan pemohon dari RUTAN Kejaksaan
Agung, dengan demikian penahanan termohon praperadilan terhadap
pemohon praperadilan tidak berdasar atas hukum mengingat bahwa UU
No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) maupun dalam UU No. 31 Tahun 1997 atau
Peraturan Perundang-undangan manapun tidak ada yang mengatur bahwa
seorang tersangka dapat ditahan terlebih dahulu baru kemudian diterbitkan
surat perintah penahanannya (surat perintah penahanan dapat berlaku
surut);
PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG :
− Bahwa dalam Pasal 26 Undang-undang No. 3 Tahun 1971 menyatakan
tindak pidana Korupsi yang dilakukan oleh anggota TNI bersama-sama
dengan Pejabat Sipil, karena itu tugas Kepolisian Represip/Justisiilnya
dilakukan oleh Tim Penyidik Koneksitas yang keanggotaannya terdiri
dari Penyidik Militer dan Penyidik Sipil yang dipimpin/dikoordinir
oleh Jaksa Agung selaku penegak hukum dan Penuntut Umum
Tertinggi dengan segala kewenangannya sebagai layaknya seorang
Pejabat yang memimpin tugas Kepolisian Represip/Justisiil;
− Bahwa dipertegas lagi dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 27
Undang-undang No. 3 Tahun 1971 yang berbunyi, “Bila Jaksa Agung
berpendapat bahwa cukup alasan untuk mengajukan perkara korupsi
dimuka Pengadilan, maka ketentuan sebagaimana termaktub dalam
Pasal 10 Undang-undang No. 1 Drt. Tahun 1958 tentang Perubahan
Undang-undang No. 6 Tahun 1950 (LN. 1950 No. 53) yang mengatur
Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Ketentaraan, tidak
dipergunakan.” Oleh karena itu pengertian Jaksa Agung
“memimpin/mengkoordinir” yang termaktub dalam Pasal 26 Undangundang
No. 3 Tahun 1971 tidak mempunyai pengertian lain,
melainkan harus dibaca dalam satu nafas berlaku bagi anggota TNI
dan Pejabat Sipil yang disangka melakukan kejahatan korupsi karena
bersama-sama;

Bahwa in casu, Jaksa Agung selaku Penegak Hukum dan Penuntut
Umum Tertinggi telah membentuk Tim Koneksitas penyidikkan
perkara tersangka Prof. DR. Ir. Ginanjar Kartasasmita dalam surat
keputusannya tanggal 9 April 2001 No. Kep.14/A/JA/04/2001, yang
keanggotaannya terdiri dari Penyidik Militer yang ditunjuk oleh
Panglima ABRI berdasarkan Surat Perintah tanggal 9 April 2001 No.
SPrin/388/IV/2001 serta Jaksa Agung telah memerintahkan Tim ini
untuk melakukan penyidikan terhadap Termohon kasasi/Pemohon
Praperadilan dalam surat perintahnya tanggal 9 April 2001 No.
051/F/FJP/04/2001 dan telah memerintahkan untuk menahan
Termohon Kasasi/Pemohon Praperadilan dalam suratnya tanggal 17
April 2001 No. 052/F/FJP/04/2001 yang dilaksanakan dengan Berita
Acara Penahanan tanggal 18 April 2001, oleh karena rangkaian
tindakan Jaksa Agung tersebut adalah berdasarkan ketentuan hukum
sebagaimana diuraikan di atas, maka tindakan Jaksa Agung tersebut
adalah sah menurut hukum.

Jumat, 20 Desember 2013

KAIDAH HUKUM

“Perjanjian lisan, baru merupakan perjanjian permulaan yang
akan ditindak lanjuti dan belum dibuat di depan Notaris, belum
mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang me
mbuatnya, sehingga tidak mempunyai akibat hukum.” 
 
“Tindakan terhadap harta bersama oleh suami atau isteri harus
mendapat persetujuan suami isteri"
 
“Perjanjian lisan menjual tanah harta bersama yangdilakukan
suami dan belum disetujui isteri maka perjanjian tersebut tidak
sah menurut hukum”

Jumat, 13 Desember 2013

TUHAN Itu Adil (Joke yang �tak�- Politisir)

Mr. Moreatty.

Demikianlah orang di kawasan Baker street biasa memanggilnya. Dia adalah seorang pekerja di sebuah perusahaan garmen yang ada di kawasan pinggiran kota London tersebut. Orangnya jangkung dan tegap sehingga terlihat benar keproposionalan antara tinggi dan berat badannya. Mukanya lancip khas orang eropa dengan dahi yang agak menonjol dan mengkilat, menandakan dia adalah orang yang cerdas atau minimal orang yang yang mau berpikir panjang. Mr. Moreatty adalah seorang yang dinamis. Dia senantiasa berprinsip bahwa setiap saat harus ada perubahan yang lebih baik di dalam dirinya dan kehidupannya. Pun berkaitan dengan anak tunggalnya, John Moreatty Jr. yang baru berusia 8 tahun. Mr. Moreatty menaruh harapan terhadapnya, semoga kelak anaknya tersebut dapat memiliki kehidupan yang lebih baik daripada dirinya.
Sebagai seorang dinamis dalam kapasitas ayah yang baik, Mr. Moreaty tidaklah lalai akan perkembangan pendidikan anaknya. Dia membiasakan diri meluangkan waktu untuk mendampingi John kecil belajar di sela-sela rutinitas pekerjaannya. Nampaknya kebiasaan yang dilakukan Mr. Moreatty ini mampu memperlihatkan hasil, John Moreatty Jr.-pun tumbuh menjadi anak yang kuat, cerdas dan kritis.
Suatu sore, sepulang dari kerja, Mr. Moreatty membawa oleh-oleh untuk John kecil. Dia membawakan John kecil satu set visual compact disk ( VCD) mengenai fenomena penciptaan alam semesta. John kecil sangat senang, dia segera meminta sang ayah untuk membuka dan memainkannya di VCD player. Setelah selesai membersihkan diri, Mr. Moreatty-pun menuruti keinginan anak tersayang. Bersama dengan sang anak, dia duduk di sofa sambil memperhatikan gambar yang ada dilayar TV 25 inch milik keluarga mereka. Sesekali dia memberikan penjelasan kepada sang anak .
" Inilah awal dari terbentuknya tata surya kita John. Kesemuanya berasal dari kabut yang terdiri dari berbagai unsur atau zat", kata Mr. Moreatty ketika terlihat gumpalan awan di layar TV mereka. "Gumpalan kabut itu selanjutnya mengeras dan terbentuklah sebuah benda padat yang sangat besar", lanjutnya.
Begitulah seterusnya, Mr. Moreatty turut memandu sang anak menikmati tontonan tersebut. " Ayah...., kenapa gumpalan tadi meledak dan terbentuk benda-benda kecil yang mengelilinginya? Benda-benda itu apa Yah?", tanya John kecil mulai kritis.
"Benda-benda itulah yang disebut dengan planet, sedangkan yang besar dan bersinar ditengahnya itulah yang disebut matahari", jawab Mr. Moreatty senang.
"Ohh...", Komentar john kecil sambil mengangguk tanda paham. " Ayah! Kenapa ada satu planet yang berbeda? Planet itu kok berwarna hijau campur biru sendiri, sedangkan planet-planet yang lain kok abu-abu dan kelihatan gelap?", lanjut John kecil dengan pertanyaannya yang polos.
Mr. Moreatty nampak semakin senang dengan sikap kritis sang anak. Selanjutnya dia menjawab," Itulah salah satu tanda keadilan Tuhan Jonh..,planet yang berbeda itulah Bumi, planet yang kita tinggali ini. Tuhan memang menjadikan bumi berbeda dengan planet yang lain. Di bumi ada udara dan air, sedangkan di planet yang lain tidak. Kenapa? karena Tuhan menjadikan bumi sebagai tempat hidup makhluk hidup ciptaannya termasuk manusia, sedang planet yang lain tidak". " Tuhan itu adil kan John?", sambung Mr. Moreatty dengan sebuah retoris.
Jonh kecil mengangguk senang. Seolah-olah dia sedang mendapatkan sebuah pemahaman yang baru.
Sesi di dalam VCD yang sedang mereka nikmati terus berlanjut. Masing-masing bagian diterangkan dengan antusias oleh Mr. Moreatty. Sampailah mereka pada bagian pembahasan tentang bumi. Tiba-tiba John kecil bertanya,"Ayah! Kenapa tiap-tiap permukaan bagian bumi juga berbeda? Apakah ini juga tanda dari keadilan Tuhan, Yah?".
"Ya.., kamu memang pintar John,"jawab Mr. Moreatty sambil menyanjung sang anak. " Itu juga tanda keadilan Tuhan....... Coba kamu lihat bagian ini !!!", sambil membesarkan bagian gambar yang dimaksud,"Ini adalah benua Eropa, benua yang kita tempati. Benua ini kelihatan berwarna putih karena jarang disinari oleh sinar matahari. Namun benua Eropa ini kaya akan bahan tambang dan kondisi perekonomiannya-pun maju, sehingga penduduknya pun tergolong kaya dan makmur. Setiap waktu tertentu ,kita, warga benua Eropa hendaknya memang harus pergi ke luar negeri untuk sekedar melihat dan berjemur matahari ha..ha...ha...", katanya dengan nada bangga.
"Itu tadi daerah mana Yah? Kok kelihatan gersang dan berwarna merah",Tanya John kecil begitu layar TV menampilkan daerah jazirah arab.
"Itu tadi daerah Arab John.... Daerahnya memang tandus, banyak gurun, tetapi di sana kaya akan bahan tambang terutama minyak bumi. Orang-orang di daerah sanapun kuat-kuat. Mereka memiliki fisik yang sangat baik. Sehingga mereka bisa hidup di gurun arab tersebut",kata Mr. Moreatty masih dengan nada senang dan antusias menjawab pertanyaan sang anak.
John Moreatty Jr.-pun senang dengan keterangan dari sang ayah. Dia semakin tahu dan paham akan banyak hal pada saat sore itu, pun termasuk pemahaman tentang keadilan Tuhan. Dia semakin serius mengikuti bagian per-bagian dari tayangan VCD yang hampir selesai tersebut. Namun, pada saat layar TV menayangkan gambar gugusan pulau yang hijau dan indah, John kembali terusik untuk bertanya. "Ayah!!! Daerah manakah itu? Kok pulaunya banyak dan semuanya hijau..... Indah lagi...!!, ditambah...... kelihatannya pulau-pulau itu juga sangat subur, tidak gersang. Daerah mana sih Yah?",Tanya John kecil.
"Ohhh..kalo yang itu namanya Indonesia. Sebuah negara kepulauan terbesar di dunia. Ayah pernah kesana. Di sana tanahnya subur tidak seperti di daerah Arab yang gersang, selalu terkena sinar matahari, tidak seperti di Eropa. Di sana juga kaya akan bahan tambang seperti emas, minyak bumi, batu-bara. Selain itu penduduk di sana juga baik-baik. Mereka sangat ramah, cantik-cantik, kuat dan ganteng-ganteng",jawab Mr. Moreatty tak kalah semangat, karena dia memang pernah berkunjung ke daerah yang dimaksud.
Jawaban sang ayah membuat John terlihat berpikir. Terlihat di wajahnya bahwa dia sedang kebingungan.
"Ada apa Jonh? Negara itu memang sangat Indah. Ayah janji, kalo kamu masih juara satu semester nanti, liburan musim semi tahun depan kita sekeluarga akan berkunjung ke Indonesia", kata Mr. Moreatty menyakinkan.
Setelah beberapa saat, akhirnya..."Tidak Ayah, aku bingung ! kok negera yang disebut Indonesia itu baik semua, tidak ada yang kurang dari negara itu. Tidak seperti di daerah Eropa yang jarang mendapat sinar matahari, tidak seperti daerah arab yang tandus dan gersang. Lalu dimana keadilan Tuhan di Negara itu Ayah?". John merasa ada yang salah dengan jawaban sang ayah.
Mr. Moreatty kelihatan bingung untuk menjawab. "mungkin ..ee mungkin...",masih berpikir dan kesulitan untuk mengeluarkan kata-kata.
"Apa ayah? Dimana letak keadilan Tuhan?",Tanya John dengan penasaran.
"John, keadilan Tuhan di Negara Indonesia akan kamu lihat pada saat penduduk di Negara itu selalu kesulitan dalam menentukan dan memilih pemimpin Negara yang baik dan berkualitas untuk memimpin negaranya., selama ini para diktaktor dan para idiotlah yang selalu ditempatkan Tuhan untuk memimpin negara itu, ya...itulah (mungkin) keadilan Tuhan di negara itu John."jawab Mr.Moreatty dengan nada ke-"takutan". Takut kalo-kalo bakal dicekal oleh penguasa Negara tersebut. Sudah tradisi. He...he...he...